Ya, suaranya ‘tuuuuuutttttt’ yang membahana itu tiba-tiba memanggil interaksi antara otak dan perut saya walaupun tidak lapar. :D
Suara yang keras itu berasal dari cerobong bambu penjual kue putu yang sedang mengitari kompleks disekitar rumah. Cerobong bambu inilah yang menjadi alat masak dari kue putu yang dijajakan selain sebagai alat pemberitahuan kepada rumah-rumah yang dilewati kalau kue putu sedang lewat.
Segera saya keluar dan memanggil penjual kue putu yang lewat untuk memesannya. Saya dan Ari W yang sedang main ke rumah memesan sampai 20 potong kue putu. Maklum kami memang berperut besar. :P
Dalam beberapa menit tangan Pak Yanto (nama sang penjual) dengan cekatan memasukkan butiran-butiran campuran tepung beras dan ketan ke dalam cerobong-cerobong bambu yang berukuran kecil.
Ditengah-tengahnya diisi serbuk gula jawa untuk memberikan rasa manis pada kue putu. Saya paling suka dengan melumernya gula jawa dalam mulut ketika memakan kue putu yang baru jadi dan masih panas.
Cerobong-cerobong bambu tersebut lalu ditaruh diatas lubang yang mengeluarkan uap panas untuk menyatukan butiran tepung dengan gula jawa.
Proses pengukusannya sendiri tidak sampai 1 menit untuk setiap kue putu yang dibuat.
Pak Yanto mengatakan kalau butiran campuran tepung beras dan ketan tersebut sebelumnya sudah dikukus lalu dikeringkan, sehingga sudah masak sebelum dibawa keliling.
Pak Yanto sendiri sudah berjualan kue putu selama 22 tahun. Sungguh suatu pengabdian yang mencengangkan bagi seorang penjual. Saya pikir butuh pengabdian yang sangat besar untuk terus berjualan selama 22 tahun lamanya.
Karena keterbatasan tenaga untuk memanggul pikulannya, Pak Yanto ‘hanya’ sanggup untuk berjalan sampai daerah Ngesrep, karena beliau bertempat tinggal di daerah Jatingaleh. Kadang sang anak yang menggantikan beliau untuk berjualan ketika sedang capek.
Karena keasyikan ngobrol dengan Pak Yanto, tidak terasa ke 20 kue putu yang dipesan sudah matang.
Setelah matang kue-kue putu tersebut ditaburi dengan parutan kelapa. Kue putu Pak Yanto ini berwarna putih, sedangkan dibeberapa daerah berwarna hijau.
Semoga masih banyak orang-orang seperti Pak Yanto yang mengabdikan dirinya untuk membuat jajanan tradisional. Dengan harga yang sangat terjangkau sungguh jajanan seperti kue putu membuat lidah ketagihan akan rasanya.
O iya, melihat dari blognya Zam katanya ada pembuat kue putu yang menggantikan fungsi bambu dengan pipa PVC. Saya tidak yakin untuk membeli jika bambu digantikan oleh peralon karena saya pikir panas yang beradu dengan plastik bisa membuat transfer antara bahan plastik ke bahan makanan didalamnya.
Jadi apakah jajanan tradisional yang kamu nikmati hari ini?
Hari ini ndak ada jajanan tradisional :( *sobbed*
Saya kangen sama bunyi “ngiiing” khas putu keliling. Kangen ngeliat uap yang keluar dari lubang-lubang pengukus kayu. Kangen ngehirup harum kukusan. Kangen aroma kelapa parut dan legitnya gula jawa. Kangeeen.
didut jelek :(
Pengen kue putu. Pengen klepon. Pengen pukis coklat dan pandan. Jajan-jajan pasar yang selalu dibeli di pasar Kolombo Jogja sepulang misa pagi di gereja Banteng.
Kangen banget ama makanan-makanan itu.
itu bunyi terus (“tut” atau “nging”) karena ga ada yg beli…kalo ada yg beli dia ga bunyi…haha…bunyinya kedengeran sedih, biar orang2 beli kali ya…hahaha
wakakak bunyi “nging” itu biar orang beli kali ya, bising siy ! :-P
ada kang. dan kampretnya, demi kepraktisan, si tukang putu tak memperhatikan bahaya yg mengancam!
Kalau pakai pipa PVC nanti ganti nama jadi “Kue Putu PVC” bukan “Kue Putu Bambu”. Hehehehe :P
Tau no telpon bapaknya putu gak? Thx