*PERINGATAN: postingan kali ini akan menghabiskan banyak benwith kamu dengan skrinsut yang merajalela
Ya, sekitar sebulan yang lalu saya sengaja menjejakkan kaki di ibukota sebentar untuk menikmati pagelaran jajanan terbesar yang ada di Nusantara yaitu Festival Jajanan Bango aka FJB.
Setelah ketinggalan FJB yang digelar di Surabaya dan tidak bisa menghadiri yang di Bandung, saya nekat datang ke Jakarta hanya untuk memuaskan dahaga perut saya yang makin gembul ini.
FJB di Jakarta kali ini digelar pada tanggal 8-9 Agustus 2008 di Gelora Bung Karno, Senayan. Sayang saya tidak bisa datang pada hari pertama karena keenakan bersama keluarga di rumah di Jakarta.
Akhirnya saya bisa datang ke FJB pada hari kedua, itupun setelah menghadiri acara pernikahan teman saya sewaktu SMP. Jadi membawa persiapan baju ala FJB (baca t-shirt&celana pendek) selain batik yang saya kenakan. Saya dan adik (Ivan) sampai di FJB sekitar jam 11 siang.
Kesan pertama yang muncul, RAMEE BANGET! Orang tumpah ruah dan lalu lalang jadi satu. Saya sempat kebingungan untuk memilih makanan yang ada dari sekitar 80 jenis makanan yang di gelar di FJB kali ini.
Akhirnya untuk menu pertama saya memilih Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih. Saya sempat terkesima dengan penjual yang mengaduk nasi goreng dengan jumlah yang sangat besar. Jadi nasi di goreng di dalam penggorengan yang sangat besar lalu setelah matang disingkirkan dari kompor. Dan jika ada pembeli yang datang, penjual tinggal mengambil dari penggorengan nasi goreng yang sudah matang.
Cara ini mungkin dipilih karena pelanggan di warung di lokasi aslinya sangat banyak dan ribet juga kalau harus membuat bolak balik. Tapi saya tetap salut dengan perjuangan sang abang tukang goreng yang tetap berdedikasi untuk mengaduk-aduk nasi goreng di siang hari yang sangat terik.
Adik saya sempat pulang sebentar karena ternyata bapak ketinggalan kunci (ada-ada aja). Sementara adik saya pulang, mikir lagi makanan apa yang saya jarang bisa makan di Semarang dan sangat unik.
Akhirnya pilihan saya jatuh ke Ayam Bakar Taliwang yang aslinya berasal dari Lombok. Dari tampilannya yang merahnya membahana ini sampeyan pasti sudah tahu kalau ayam ini pasti bercita rasa pedas. Saya dasarnya tidak suka makanan yang bernuansa pedas tetapi kalo enak ya apa boleh buat.
Begitu gigitan pertama di dagingnya- ajeeppp -lidah saya bergetar oleh rasa pedas yang menyiksa lidah saya ini. Rasa pedasnya cukup oke dan dagingnya empuk. Cukuplah buat pengganjel nasi goreng kambing yang sudah saya embat sebelumnya.
Begitu Ivan datang, dia mau makan Iga Bakar Melo. Kalau dilihat antriannya memang Iga Bakar Melo ini termasuk yang paling rame dan panjang antriannya. Bayangkan saja di siang hari bolong dengan terik matahari para pengantri masih sabar menunggu untuk seporsi atau lebih sebuah iga bakar.
Memang kelihatan sekali kalau FJB dibuat untuk memanjakan perut penikmat makanan tradisional masyarakat khususnya kali ini di Jakarta. FJB dibuat untuk melestarikan tradisi makanan tradisional Indonesia sehingga semakin terangkat ke permukaan dan tidak tergilas dengan makanan-makanan dengan konsep yang lebih modern.
Oleh karena itu masyarakat yang kangen dengan makanan tradisional rela ngantri selama setengah jam atau lebih untuk mendapatkan makanan seperti Iga Bakar Melo ini.
Kalau ngomongin siang dan panas, tebak stand apa yang paling laku? Jawabannya ya stand minuman. Stand teh Sariwangi termasuk yang paling sering habis jualannya. Entah sudah berapa banyak es teh yang saya tenggak hari itu untuk memuaskan dahaga kerongkongan saya. Liat aja tuh antriannya, mantebh (pake B) deh.
Sedikit siang sebenarnya saya sempat bertemu dengan Ridu dan kawan-kawan, tetapi kelihatannya udara tidak mendukung buat kongkow-kongkow dan Ridu baru datang jadi kami berpisah untuk menikmati jajanan yang ada.
Sorenya saya janjian dengan Nieke–Nila (si kembar keritikentang) dan Lowo. Kopdar sore itu memang sengaja buat bertemu Lowo yang sedang mengadu nasib di Jakarta. Setelah Nieke, Nila dan Lowo datang, sayapun jadi gahar untuk berpartisipasi mengembat jajanan FJB.
Walaupun mungkin perut sudah semakin membuncit tetapi apa boleh buat ternyata nafsu hunting makanan mengalahkan segalanya (maklum tukang makan).
Saya akhirnya memilih Kari Kambing dengan Cane, kelihatannya mantap dan Nila akhirnya membeli Martabak Mesir di stand yang sama.
Cara makan kue cane ini dengan dicocol ke kuah kari kambing yang sudah disediakan. Wih rasanya SEP!! Saya jadi pengen buat kari kapan-kapan, soalnya kemarin lihat kalau sudah ada yang menjual kue cane siap masak.
Martabaknya juga sebenarnya oke tetapi saya lebih bernafsu untuk menghabiskan cane yang jarang-jarang bisa saya temui di Semarang.
O iya, sebelumnya kami juga sempat mencoba Es Ragusa yang legendaris di Jakarta itu. Lumayan buat menghilangkan dahaga di siang hari.
Jajanan pasar juga mendapat tempat tersendiri di FJB kali ini. Jajanan pasar mendapatkan 2 stand besar di 2 lokasi yang berbeda. Jajanan pasar yang sempat saya cicipi yaitu Es Cendol (lagi-lagi es) selain ada Es Goyang-yang cara membuatnya di goyang-goyang dan Kerak Telor Betawi-yang saat ini mudah ditemukan di daerah Simpang Lima Semarang.
Saya, Ivan, Lowo dan Nieke-Nila berpisah sekitar jam 4 sore karena saya punya acara perkawinan malam harinya. Lowo saya ajak menginap di rumah karena lokasi pulang yang sangat jauh.
Tetapi karena malamnya hotel acara kondangan bersebelahan dengan lokasi FJB, saya tergoda untuk kopdar FJB malam dengan Chika. Jadilah saya bawa baju ganti lagi selain batik.
Peserta kopdar malam itu awalnya saya-Lowo-Chika-Chic dan Joe. Tetapi mata saya sekilas pria berbadan tambun lewat yang ternyata Arya yang sedang pulang dari kantor atau liputan. Akhirnya malam itu kopdar cukup ramai juga dengan si Vio buah hati Chic dan Joe.
Kali itu saya kebetulan membawa Ting-Ting, panganan khas Salatiga sebagai oleh-oleh. Ternyata si Joe maniak sama yang namanya Ting-Ting, pucuk dicinta ulam tiba deh, kami meminjam area FJB untuk menyantap panganan khas Salatiga tersebut.
Sedikit tentang makanan yang ada di FJB. Sayang sekali makanan dari Semarang tidak ada yang berpartisipasi. Padahal makanan dari Semarang cukup banyak yang unik dan melegenda di lidah seperti Lumpia, Nasi Ayam, Tahu Gimbal atau Tahu Pong .
Sayang sekali Kota Semarang tidak diikutkan dalam penyelenggaraan pesta kuliner tahunan ini. Padahal kalau dari segi potensi lokasi, Kota Semarang mempunyai Alun-ALun Simpang Lima yang sudah terkenal sebagai pusat keramaian di Semarang. Saya lihat Simpang Lima sanggup juga menampung limpahan orang yang sangat ramai.
Mudah-mudahan di lain waktu Kota Semarang bisa dilewati Festival Bango ini karena kalau dilihat dari peta kuliner di Semarang, Semarang termasuk salah satu kota dengan peta kuliner yang cukup besar.
O iya postingan kali ini baru dari petualangan perut saya saja. Pemandangan lain akan saya lanjut di postingan berikutnya.
Salam Kuliner.
Postingan asli berada di wordpress dan diikutkan dalam lomba kreasi bango 2008.
Comments 2